Kisah Hero Julian, Sang Scarlet Raven dengan Senyumannya yang Kaku
26/05/22
0 Komen
Sepuluh tahun yang lalu, di suatu malam di musim dingin, sebuah badai salju melanda benteng dari Guild Free Smith. Pasukan Church of Light dengan sadisnya membunuh, atau istilahnya bagi mereka yaitu "menyucikan" setiap Free Smith yang dipimpin oleh Terizla atas keputusannya yang telah tunduk kepada Abyss, dengan hanya menyisakan anak laki - laki yang masih berumur enam tahun.
Anak yang malang itu pun berkelana tanpa tujuan ke berbagai arah, merasa takut
dan khawatir, hingga pada akhirnya ditemukan oleh Church saat
keadaannya hampir mati kelaparan. Archbishop melihat ada bakat istimewa dalam
diri anak itu dan memberinya nama Julian, seperti nama seorang pendeta kuno.
Setelah itu, dikirimkanlah Julian ke Raven's Nest, sebuah akademi
spesial yang tergabung dengan Monastery of Light.
Berada di puncak tebing, akademi itu merupakan rumah bagi anak - anak yatim
berbakat yang dikumpulkan oleh Church. Anak yang muda, miskin, dan yang
mudah ditipu adalah tipe favorit mereka. Archbishop berkata bahwa anak - anak
yang ditinggalkan keluarganya tidak pantas mendapatkan kasih sayang, tetapi di
tempat itu, dia akan memberikannya lebih dari sebuah kasih sayang, yaitu
sebuah reinkarnasi, sebuah jiwa baru dengan kehidupan yang lebih baik dari
kehidupan mereka sebelumnya. Lalu, sebagai bayarannya, mereka harus setia
kepada Church dan menjadi "Raven", sebuah pasukan khusus yang
menghapus seluruh orang munafik dan iblis dari muka bumi.
Dikarenakan trauma dan tekanan yang berat, Julian kehilangan ingatan mengenai
kehidupannya di masa lampau, sementara ingatan yang masih tersisa memberikan
luka yang mendalam kepadanya. Kesenangan dan kasih sayang, semua hal itu telah
terkubur bersama gelapnya malam dimana dia kehilangan seluruh keluarganya.
Kobaran api dengan berbagai teriakan yang menyelimutinya, mayat yang telah
bergelimpangan, Julian mendapatkan mimpi buruk itu berulang - ulang setiap
malam, hari dimana ibunya pergi meninggalkannya di sudut ruangan demi
menyelamatkan hidupnya sendiri, memohon belas kasih kepada musuhnya, tanpa
menoleh kebelakang sedikitpun untuk menyelamatkan Julian.
Kini hal yang bisa diingatnya sekarang hanyalah sebuah gerakan aneh, menarik
sudut mulutnya dengan tangannya, dan membuat sebuah senyuman yang sangat kaku.
Julian selalu melakukannya tanpa dia sadari, seakan - akan hati dan tubuhnya
dapat mengingat sementara pikirannya tidak. Dia berusaha sekeras mungkin untuk
mengingatnya, namun tak ada satupun ingatan yang muncul dalam pikirannya.
Anak - anak yang berada di Raven's Nest disebut Nestling. Mereka
melakukan berbagai pekerjaan berat dan mempelajari buku dan cara bertarung
yang berat di siang. Sementara saat malam telah tiba, mereka tinggal di kamar
yang terpisah yang dibangun di sisi tebing untuk berdoa dan beristirahat.
Setiap anak akan diberikan nama suci, sebagai bentuk kelahiran kembali mereka,
sebuah nama yang mengandung doa, mantra, dan setiap kali mereka menolak untuk
menjawab, hukuman akan menunggu mereka. Hukumannya dapat berupa cambukan
biasa, atau yang lebih kejam seperti dipaksa menahan lapar dan dikurung di
waktu yang cukup lama.
Para Nestling hidup dengan keadaan kesepian, dibesarkan dalam
kesendirian, dengan doa sebagai petunjuk mereka dan kekerasan sebagai sifat
alami mereka. Akan tetapi, Julian menemukan keluarga di antara "tamu - tamu"
yang datang ke guanya, yaitu seekor tupai yang kelaparan, seekor burung pipit,
dan kambing yang diberikan kepadanya untuk diberi makan. Di tengah dinginnya
malam, para hewan yang sudah dianggap "keluarga" bagi Julian itu akan
mendengarkan ocehannya, berbicara mengenai ketakutan dan kesendiriannya. Bagi
Julian, para hewan yang menemaninya lebih terlihat seperti keluarga yang
nyata, daripada persaudaraan dengan para anjing penjaga dan tuan boneka yang
hidup bersama mereka.
Bersama "keluarganya", Julian bekerja dengan rajin di akademi dan menjadi
salah satu murid yang paling hebat di bidang pekerjaan, akademik, dan
pertarungan. Senang dengan perkembangannya yang luar biasa, Archbishop memuji
Julian. Namun, para Nestling yang iri pun tak tinggal diam. Pada
suatu malam, Julian kembali ke kamarnya, dan menemukan semua "keluarganya"
telah tergeletak tak bernyawa. Sebuah penglihatan yang sangat mengerikan di
kepalanya membuat Julian mengingat sesuatu, sebuah mimpi buruk yang dulu
menghantuinya, tetapi dia melihat bayangan orang yang telah mati, dan bukan
bayangan hewan. Merasa pusing dan muak, Julian tidak menyadari bahwa
Nestling lain telah mengelilinginya.
Seorang Nestling berkata dengan penuh kegembiraannya "Tupai
melambangkan ketidaksetiaan, Burung Pipit ketidakpedulian, dan Kambing untuk
kelemahan. Keyakinanmu kini telah lemah, Julian, dan kau tidak pantas
mendapatkan kasih sayang dan kelahiran kembali seperti orang - orang munafik
itu."
Sesaat kemudian penglihatan Julian menjadi kabur, dia hanya dapat merasakan emosi yang telah mengambil alih kesadarannya. Dengan cepat Julian langsung melayangkan sebuah pukulan yang sangat keras, dan tak mengingat apapun setelahnya. Satu - satunya hal yang masih dapat diingatnya hanyalan seorang anggota pengurus yang telah menariknya, sementara Archbishop terlihat menyaksikan semuanya dari pintu masuk. Seorang Nestling terluka parah, terbaring di tanah, tidak sadarkan diri, sementara Julian berdiri dengan goyah sambil bersandar ke dinding, seluruh badannya gemetar, seakan - akan dirinya masuk ke dalam air yang sangat dingin.
Julian menutup matanya, dia tahu bahwa setelah peristiwa itu sebuah hukuman
yang berat akan dia terima, tetapi ternyata tidak terjadi apa - apa.
"Rasa iri.... Memalukan, membuang tenaga saja. Asingkan dia!" Suara teriakan
Archbishop memenuhi ruangan.
"Lalu bagaimana denganku?" Tanya Julian dalam hati.
Sang Uskup Agung itu pun lalu menepuk pundaknya dengan penuh rasa bangga yang
sontak membuat Julian tak bisa berkata - kata.
"Kerja bagus, nak." Ucap sang Uskup Agung. Bingung dan ketakutan, tak ada satu
katapun yang keluar dari mulut Julian.
"Kamu berhasil melewatinya di saat kamu terpuruk, ya?" Imbuhnya kepada Julian
yang sedari tadi masih berdiri mematung dan tak mengetahui apa yang sebenarnya
terjadi.
Pada saat itu Julian tak sadarkan diri. Dia melihat bangkai hewan di sudut
ruangan yang kotor, dingin, dan tidak berdaya. Perkataan Nestling tadi
sekarang mulai menggema di kepalanya "Imanmu lemah, tidak pantas mendapatkan
kasih sayang dan kelahiran kembali seperti orang - orang munafik itu!"
"Benar, bukan?" Suara sang Uskup Agung terdengar seperti tangan yang tepat di
lehernya, seolah akan mencekiknya dengan erat hingga menghembuskan nyawa, yang
kemudian membuat Julian bergetar ketakutan. Setelah merasakan ketegangan itu,
dia mengangkat sudut mulutnya dan memasang senyuman kaku di wajahnya.
Cahaya remang berwarna perak di pagi hari telah muncul di ufuk timur,
menyinari setengah wajah Julian sementara setengahnya lagi tertutup oleh
bayangan. Anak itu pun mengangguk pelan.
"Benar Yang Mulia. Aku berhasil melewatinya, demia kelahiranku kembali" Jawab
Julian dengan segenap tenaganya yang masih tersisa, sambil tetap
mempertahankan senyuman kaku di wajahnya.
Sang Uskup Agung lalu memegang rambut merah Julian, puas dengan ketabahan anak
itu, "Rasa takut terhadap dirimu akan tertanam dalam diri semua makhluk hidup.
Keputusanmu akan dipatuhi oleh setiap jiwa yang berada di muka bumi. Dan atas
kuasamu, takdir mereka akan tertulis."
Sebuah cahata yang aneh pun mendadak memancar dari mata Julian yang gelap. Dia
mengangkat tangannya dan memanggil sebuah senjata yang sangat asing,
membuktikan dirinya di hadapan Archbishop. Tergerak karena pelukan hangat dan
kata - kata yang menguatkan, seluruh pengalaman buruknya kini langsung sirna,
anak itu telah sepenuhnya tunduk di hadapan Archbishop. Julian tahu untuk
mendapatkan kasih sayang yang sangat besar, dia harus menjadi
Raven yang terkuat.
Beberapa tahun telah berlalu, di usianya kini telah menginjak 15 tahun, para
Nestling menghadapi ujian terakhir mereka sebelum dinobatkan menjadi
bagian dari Raven, entah itu menyusup ke dalam markas lawan, memata -
matai Abyss, atau memusnahkan orang munafik, bahkan seorang
Nestling elit sekalipun akan menghadapi kesulitan saat melakukannya.
Tetapi jika berhasil lulus, mereka akan diarahkan ke
Monastery of Light, sebuah puncak menara yang bersinar yang berada di
hadapan mereka, dengan wajah yang penuh harap. Hanya inilah satu langkah akhir
yang dibutuhkan untuk menuju kelahiran kembali.
Akan tetapi, ujian tersulit berada di depan mata. Di sekitar Monastery,
seseorang akan memanggil Nestling dengan nama lahir mereka. Jika mereka
gagal bertahan, mereka akan diasingkan dan akan dianggap sebagai seorang
munafik. Hingga akhirnya, tujuan di masa mendatang. Tujuan dari ujian ini
adalah untuk menguji jika Nestling cukup setia untuk melupakan seluruh
jati dirinya di masa lampau, jika Nestling telah menerima "kelahiran
kembali".
Julian melalui ujian tersebut. Beberapa tahun terakhir, tidak sekali pun dia
berani melupakan ucapan sang Uskup Agung kepadanya, bahwa seorang
Raven harus melupakan masa lalunya. Tetapi masalahnya, dia bukanlah
Raven sejati. Jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, ada sesuatu yang
mencegahnya untuk benar - benar melupakan semua masa lalunya. Dia tidak
mengetahui apa hal itu, tapi tetap saja hal itu selalu melawan semua usahanya.
Seperti dua suara yang berdebat di dalam pikirannya, antara
Scarlet Raven dan seorang anak yang tersesat.
Di larut malam, Julian duduk sendiri di kegelapan dan secara tidak sadar
melakukan gerakan aneh itu lagi. Mengapa dia harus tersenyum? Julian tidak
tahu dan tidak terlalu memikirkan hal itu lagi, karena sekarang dia telah
menjadi Raven yang terkuat.
Ketika Xavier menghancurkan tembok kota dan kabur bersama Yin dan Melissa,
sang Uskup Agung mengutus Julian untuk menjalankan sebuah misi, "Pikiran
Xavier yang malang telah diracuni oleh orang munafik, dia harus diberi
pengampunan." Kini Julian ditugaskan untuk membunuh Xavier beserta dengan Yin
dan Melissa.
Butuh waktu tujuh hari lamanya bagi Julian untuk menyusul mereka, dan akhirnya
kini dia telah menangkap pengkhianat itu bersama dengan Yin dan Melissa, dalam
keadaan kelelahan dan terlihat lemah. Pertarungan tidak dapat terelakkan, dan
terlihat tidak ada yang memenangkannya. Dalam pertarungan hebat itu, jubah
Raven milik Julian terjatuh, yang membuat rambut merahnya yang terang
terlihat. Setelah melihat rambut Julian, Xavier mendadak langsung terdiam,
perlahan dia pun menyadarinya, dan menerima serangan telak dari Julian.
Xavier kini tidak mampu lagi untuk bertarung, tetapi dia masih berusaha
melindungi Yin dan Melissa. Dia lalu mengatakan "Jika orang yang akan
mensucikan aku adalah kamu, maka tidak masalah, karena bagaimanapun juga,
ibumu..."
Belum sempat Xavier menuntaskan perkataannya, Julian langsung menghentikan
serangannya, sontak badannya terdiam, matanya terbuka lebar, "Ibuku, kamu
mengetahui siapa ibuku?" Tanya Julian kepada Xavier.
Xavier terlihat ragu untuk beberapa saat, karena dia tahu Julian telah
berjanji untuk melupakan semua masa lalunya, hingga akhirnya dia merasa iba,
dan mengungkapkan kejadian yang sebenarnya kepada Xavier. Di malam mengerikan
sepuluh tahun lalu, Julian kecil disembunyikan di sudut ruangan oleh ibunya.
Ingatan malam itu lalu menyambar Julian seperti sebuah petir. Dia melihat
wajah ibunya, sebuah ingatan yang selama ini menghantuinya ternyata adalah
sebuah ingatan yang penuh kasih sayang. Dengan senyum penuh ketakutan di
bibirnya yang bergetar, dia memegang wajah Julian, membuat senyuman di
bibirnya, dan berkata "Ibu akan memancing mereka untuk pergi dari sini,
semuanya akan baik baik saja. Jika kamu tidak tahu apa yang harus dilakukan,
maka tersenyumlah."
Setelah mengatakan itu ibunya pun dibunuh oleh para Raven, sebelum
Xavier menyadari bahwa Julian sedang bersembunyi di balik peti. Saat itu
Julian tidak tahu apa yang telah terjadi atau reaksi apa yang harus dia
perlihatkan. Satu - satunya hal yang dia ingat adalah ketika ibunya mengangkat
kedua sudut bibirnya. Dia memaksa Julian untuk tersenyum sekalipun seluruh
tubuhnya telah bergetar karena ketakutan.
Senyuman itu membuat hati Xavier bergetar. Xavier pun tersentuh, dan dia pun
pergi bersama Raven dan menyisakan anak itu yang masih bersembunyi di balik
peti. Begitulah kejadian yang sebenarnya, yang kini semuanya telah berhasil
diingat Julian dengan sangat jelas.
Dia pun mengingatnya. Dalam sekejap, apa yang telah dilupakannya selama
sepuluh tahun tiba - tiba menjadi jelas, hidup sebagai putra
Free Smiths, api yang ada di perapian, kehangatan pelukan ibunya, dan
mainan kayu yang diberikan ayahnya, tangan Julian bergetar dengan sangat
hebat. Seorang Raven yang telah menemukan jati dirinya tidak lagi dapat
memegang pedangnya tanpa ragu. Ibunya sangat menyayanginya dan mampu
mengorbankan hidupnya untuk membuktikannya. Dia tidak pernah diabaikan ataupun
tidak dicintai, kasih sayang yang selama ini dia kenal telah dicuri darinya.
Saat itu juga, tiba - tiba Alice muncul di pintu masuk sebuah gua dengan seluruh bala pasukannya. Xavier dan dua temannya telah berjuang melalui kejaran dan pertarungan. Mereka tidak akan mampu bertahan jika harus bertarung dalam kondisi seperti itu lagi, apalagi jika harus melawan pasukan iblis milik Alice. Di tengah situasi bahaya itu, Julian melangkah maju, berdiri di tengah Xavier dan pasukan iblis Alice. Di meminta Xavier dan kedua temannya untuk kabur melalui jembatan tali, sebelum nantinya Julian akan memotong talinya dan berhadapan dengan pasukan iblis untuk mengulur waktu bagi mereka.
Sebenarnya tujuan Julian bukanlah melindungi mereka. Memusnahkan para iblis
merupakan perintah pertama bagi Raven, tetapi ini bukan lagi sebuah
misi bagi Scarlet Raven, karena jika Julian ingin mengetahui lebih
banyak hal mengenai kehidupan masa lalunya, maka dia memerlukan Xavier hidup -
hidup, mungkin saja masih ada rahasia yang dia simpan darinya.
Sekarang Julian benar - benar telah terkepung oleh pasukan Alice. Dan maskipun
keadaannya tidak menguntungkan sama sekali, Julian masih tetap melihat
senyuman manis ibunya, dan untuk pertama kalinya setelah sepuluh tahun,
senyumnya tidak lagi dipaksakan. Dia kini sepenuhnya berada dalam kedamaian.
Julian akhirnya menemukan jati dirinya dan mengetahui cara tersenyum dengan
tulus lagi.
~Tamat.~
KATA - KATA JULIAN
I am more than a weapon
Aku lebih dari sebuah senjata
No warms here
Tidak ada kehangatan disini
Memory completes me
Ingatan melengkapiku
On alert
Waspada
Danger, Addictive
Bahaya membuatku ketagihan
No question asked
Tidak ada pertanyaan yang diajukan
Colors
Warna
It is black, you see?
Ini adalah kegelapan, apakah kau melihatnya?
That smile is all I have
Hanya senyuman itu yang kumiliki
The snow, I recall
Salju, aku mengingatnya
Take what I owe
Ambil hutangku padamu
Name is Julian
Namaku Julian
Neither friend nor foe
Bukan teman, bukan juga lawan
Never look back
Jangan pernah melihat ke belakang
Closing in!
Mendekatlah!
Quit it!
Hentikan itu!
Don't run
Jangan lari
What for?
Untuk apa?
Where to?
Kemana?
After killing an enemy
It's never personal
Bukan masalah pribadi
It is my mercy
Ini adalah belas kasihku
You asked for it
Kamu yang memintanya
Death
Pitch black
Gelap gulita
Respawn
I find clarity
Aku menemukan kejelasan
It didn't hurt
Itu tidak sakit
***
Sekian pembahasan saya terkait kisah hero Julian. Apabila ada dari
kalian yang menginginkan pembahasan
kisah hero Mobile Legends lainnya, silahkan tulis saja di kolom komentar.
Jangan lupa selalu kunjungi
teh90blog.com untuk
mendapatkan info menarik lainnya seputar
game
Mobile Legends.
Terima kasih.
TAGS:
Fighter
Kisah Hero
Mage
Mobile Legends
0 Response to "Kisah Hero Julian, Sang Scarlet Raven dengan Senyumannya yang Kaku"
Posting Komentar
*Berkomentarlah sesuai dengan isi postingan