Cerpen "Pangeran Kodok"
Pangeran Kodok
Langkah kaki yang mulai menghentikan setiap hentakannya ke tanah yang dipenuhi dengan tumbuhan-tumbuhan liar yang memberatkan langkah untuk melaju ke depan. Suasana dingin sudah mulai menusuk kulit walau telah ditutupi oleh beberapa lembar baju yang aku dan Risa gunakan. Rasa lelah dikaki tidak dapat dibendung lagi, sudah pasti inilah rasanya lelah mendaki gunung setinggi 2565 meter diatas permukaan laut. Bagiku yang seorang pemula, mendaki gunung setinggi ini merupakan pencapaian besar pertamaku karena memang aku baru pertama kali mendaki. namun bagi Risa, mendaki di gunung ini tidak lebih dari sekedar pemanasan kedua kakinya yang telah terbiasa mendaki di beberapa gunung lainnya di Pulau Jawa. Banyak yang mengatakan kalau gunung ini memang diperuntukan oleh pemula yang baru pertama naik gunung, tetapi bagiku gunung ini seperti gunung yang tinggi, yang tidak ada habisnya aku menanyakan sedari tadi ke Risa kapan kita sampai di puncaknya. hingga mungkin Risa mulai kesal menanggapi pertanyaanku yang sama disetiap aku menemukan pemandangan baru disekitar jalur pendakian. dan pada akhirnya ini adalah kali terakhir aku menanyakan kepada Risa tentang puncak yang kami tuju.
"Ris, puncaknya masih jauh ?", tanyaku dengan nafas sangat terengah-engah.
"Noh, liat didepan ada tulisan apa ? keliatan gak.", dengan nada yang
lelah, Risa menunjuk papan tanda yang ada di depan berjarak 30 meter.
"WAH! Udah sampai, ayok buruan ris, dikit lagi.", aku yang senang dan
langsung berlari menuju papan tanda itu, entah dari mana datangnya kekuatan
sebesar ini yang baru keluar di akhir jalan menuju puncak.
"Iya, gausah lari, hemat tenaga, kita belum buat tenda.", ucap Risa sambil
berusaha mengejarku.
Tak lama aku telah sampai tepat didepan papan tanda yang terbuat dari kayu
bertuliskan Sunrise Camp Gunung Prau, Patakbanteng 2565 MDPL.
“Akhirnya sampai puncak juga.”, ucapku yang lelah bercampur senang seperti
meraih juara 1 lomba berlari kategori cewek di acara classmeeting SMA
kami.
“Lama nggak ke gunung ini, ternyata pemandangan sekitar masih sama, ngga
ada yang berubah.”, ucap Risa yang baru sampai dan tepat berdiri
dibelakangku.
Kami berdua kemudian mencari tempat yang aman dan nyaman untuk mendirikan
tenda. Puncak Gunung prau ini memiliki tekstur tanah yang berumput, tidak
berpasir, tidak ada pepohonan yang menjulang tinggi, menghadap langsung
dengan Gunung Sindoro dan luas yang bisa digunakan untuk mendirikan
kira-kira 20 tenda. Namun beruntungnya kami karena yang datang ke Prau tidak
seramai dulu waktu Risa pertama kali ke gunung ini. Beberapa menit telah
berlalu, matahari mulai terbenam dari arah barat. Langit sore jingga
kemerahan mulai memudar tergantikan gelap malam yang perlahan merata
keseluruh pandangan mata. Suasana puncak mulai menjadi lebih dingin hingga 3
derajat celcius kata Risa. Kami telah usai mendirikan tenda serta meletakkan
tas bawaan kami didalam tenda. Risa saat ini tengah menyiapkan tempat masak
yang nantinya kami gunakan untuk sekedar merebus air, memasak mie atau
masakan lainnya yang bisa dibuat oleh Risa. Aku belum terlalu pandai
memasak, apalagi dengan suasana dipuncak gunung semakin membuatku tidak
biasa untuk memasak.
Aku yang tidak pandai memasak memilih untuk merapikan barang yang didalam
tenda agar kami bisa tidur dengan ruang yang lebih longgar. Sekalian Risa
menyuruhku untuk berganti pakaian yang nyaman, karena pakaian mendaki telah
basah oleh keringat dan akan tidak nyaman jika digunakan untuk tidur.
Sembari mengambil baju nyamanku yang ada dipaling bawah dari Tas, aku
mengeluarkan beberapa makanan kecil yang kubawa dari kaki gunung dan air
mineral yang masih tersisa. Baju yang ku ambil dari dalam Tas menarik barang
kecil yang tak kubayangkan akan terbawa kegunung ini. Barang yang paling aku
kenal dan sangat berkesan bagiku yang menyentuh hatiku kala pertama kali aku
mendapatkannya dari seorang yang memberikanku ini sebagai hadiah istimewa
ketika aku berulang tahun. Barang itu adalah kalung yang beronamenkan
menyerupai kodok namun gepeng dan lucu. Barang terebut tak disangka menjadi
pembeda kala ruang dan waktu yang terjadi saat itu. Aku yang melihat kalung
tersebut sempat terdiam dan mengambil kalung itu. Mana bisa aku menghindar
untuk tak mengingat pertama kali aku mendapatkan kalung ini. Aku yang saat
itu diam termenung menunggu kedatangannya di meja salah satu restoran,
tiba-tiba dikagetkan dengan suara kodok yang muncul tak berbentuk hewan namu
berbentuk kalung yang diberikan oleh Rio, mantan pacarku yang baru saja
putus denganku. Sesaat lamunan itu memberiku ruang hampa sendiri hingga Risa
memanggilku untuk segera ganti baju dan gantian.
“Udah selesai belum ganti bajunya, Ran ? Gantian!?”, ucap Risa.
“Iya sabar, ini udah mau kelar”, jawabku mengelak dari keadaan yang
sebenarnya terjadi.
Aku menyimpan kalung tersebut dalam saku celana sebelah kiri dan entah akan
ku apakan setelah ini.
Matahari yang telah sedari tadi terbenam dari ufuk barat. Warna merah
kejinggaan benar menghilang dari sebatas pandangan mata. Disini, didepan
tenda yang telah selesai didirikan, Perapian kecil berkobar dari kayu-kayu
yang disusun hingga nyala sebuah api. Tidak dapat dipungkiri puncak sebuah
gunung sangatlah dingin. Dingin ini semakin menjadi ketika malam dan angin
tiba-tiba berhembus menabrak kita berdua. Namun perapian kecil ini
menyelamatkan kita dari rasa dingin yang lebih parah. Tidak hanya perapian,
air hangat yang kami seduh sebagai bahan bakar kopi panas telah kita buat
sebagai amunisis melawan dingin ini. namun, dalam beberapa saat aku terlihat
kosong dan termenung memandangi perapian. Entah begitu nyaman rasanya
memandangi perapian ini, nyaman yang lama tak kurasakan lagi setelah
kejadian yang sekelebat terbayang kembali dalam pikiranku lagi. Hingga Risa
mengangetkanku.
“Woi, Ran!”, Risa membentakku dan menyenggolkan ranting yang ia pegang ke
pinggangku.
“Hah!? Apaan”, mataku teperenjak kaget dengan perbuatan Risa.
“Jangan kebanyakan ngelamun di gunung, nanti kemasukan setan tau rasa.”,
ucap Risa yang bercanda.
“Jangan ngomong gitu, ah. Kemasukan beneran, lu bisa ngeluarin?”, tanyaku
ke Risa.
“Ya ngga bisa lah, makanya jangan ngelamun. Kenapa sih ngelamun? Kepikiran
mantan?”, tanya Risa.
“Hemmmmm..”, jawabku singkat tanpa memperpanjangnya.
“Tinggalin pikiran tentang mantan kaki gunung sana, sekarang kita dipuncak, ngga usah ngekhawatirin yang ngga perlu.”, ucap Risa tegas terhadapku yang memang tujuan kita mendaki gunung adalah ini.
Tetapi terbawanya kalung ini, membaurkan tujuanku tadi dari kaki gunung yang memang tidak ingin mengingat Rio lagi.
“Iya, Sa, iya. Btw aku mau ngomong, kalung dari Rio ngga sengaja ke bawa, tadi ada di tasku.”, aku bercerita jujur kepada Risa yang memang sahabatku yang mengerti bagaimana permasalahanku.
“Ooh, jadi itu alasannya kenapa lu dari tadi ngelamun. Yaudah sii, disimpen aja dulu sampai dibawa turun. Saranku mending dibalikin itu kalung. Kalau toh ngga mau menerima balik, nanti tinggal buang aja.”, ucap Risa, beberapa kali sebenarnya Risa sudah menyarankan ini kepadaku namun aku masih batu dan ragu untuk melakukannya.
“Iya Ris, aku udah bilang, setelah turun dari gunung ini, aku udah siap ngebalikinnya.”, ucapku memantapkan hati.
“Btw, cerita pangeran kodok itu bagus juga yaa, unik.”, aku
bercerita kepada Risa sembari melihat kembali kalung yang ada di saku kiri
celanaku.
“Lah, aneh lu Ran, tiba-tiba ngomongin pangeran kodok.”, Risa menghela
nafas heran dengan keabstrakanku.
“Iyaa hahaha, daripada diem, kedinginan, mending cerita bahas hal
random. Tapi menurutku cerita Pangeran Kodok itu unik. Bisa-bisanya
ada pangeran wujudnya kodok.”, ucapku.
“Tapi dari cerita pangeran kodok, aku salut si sama tuan putri, yang mau
nyium seekor kodok. apa ngga geli gitu. Kalau aku mending nyari pangeran
lain yang jelas manusia, daripada kodok yang bisa aja itu kodok asli bukan
pangeran hahaha.”, jawab Risa yang selalu dengan logika duniawinya yang
melihat realita apa yang ada.
“Yaa iyaa, cuma hoki banget si, si tuan putrinya, bisa dapat pangeran
ganteng yang sebelumnya kodok, aku bisa nemu yang kaya gitu ngga ya?”,
harapan terbang telalu tinggi hingga menembus langit.
“Itu cuma dongeng Ran, ngga mungkin lah, hahaha.”, jawab Risa yang heran
aku bisa berharap seperti itu.
“Iyaa dongeng juga ada yang nyata, bisa aja itu dari kisah nyata, hahaha.”,
jawabku yang masih berharap.
“Ngaco lu Ran, udahlah, tidur aja, semakin abstrak kalau
dilanjutin.”
Kemudian kami berdua kembali masuk ke tenda dan mematikan perapian kecil
hangat kami. Sebelum tidurpun aku masih menanyakan ini dengan Risa.
“Sa, tapi apa aku bisa dapatin orang yang tepat entah bagaimana wujudnya
?”, tanyaku.
“Bisa kok Ran, memang sekarang mungkin belum waktunya, kalau udah waktunya
pastin ketemu pangeran kodokmu yang asli hahaha, udah tidur. Besok kita liat
sunrise.”, jawab Risa yang bercanda namun menenangkanku.
Ketika aku menutup mata, telingaku tak sengaja mendengar suara kodok yang
aneh. Namun aku abaikan hal itu, karena logikaku mungkin lelah, mendengar
suara kodok dipuncak gunung. Tetapi suara kodok itu berubah dan aku
mendengarnya dengan jelas.
“Ran, kalau udah waktunya, seorang pangeran kodok ini, akan menghampirimu
dengan kejutan tak terduga, dan menjadikanmu tuan putri bagi pangeran
ini.”
Telingaku sangat jelas mendengar hal itu, namun pikiran menahan mataku
untuk mencari suara yang jelas terdengar itu. Aku mengabaikan hal itu dan
berusaha untuk tidur melewati malam ini. entah malam yang aneh bagiku
pertama kali disebuah gunung. Namun harapan dari seorang pangeran kodok
telah membantuku melewati patah hati di puncak gunung ini.
Langit malam masih menyelimuti tenda kami namun jam waktu telah bergerak
mendekati pukul 4 pagi. Aku sebenarnya tidak dapat tidur dengan nyenyak,
terkadang aku sempat terbangun di tengah malam bahkan tiap satu jam sekali
aku mudah sekali terbangun. Namun kali ini aku tidak dapat kembali menutup
mataku karena Risa sudah mengingatkan sebentar lagi kita akan melihat
sunrise dan menyuruhku siap-siap membawa barang seadanya.
“Udah siap belum, Ran ?”, tanya Risa kepadaku yang sudah menunggu di depan
tenda.
“Sebentar lagi sa.”, Jawabku sembari memamsukkan beberapa makanan ringan,
juga smartphone ke dalam tasku. Sempat aku terlupa bahwa kalung dari
Rio yang ada di saku celanaku, hendak berfikir aku ingin membawanya,
namun aku harus siap dengan segala keputusanku untuk menenggelamkan
pengharapanku terhadap kalung itu, dan akhirnya aku meninggalkan kalung
tersebut di dalam tenda, dibalik sleeping bag yang aku pakai.
“Udah ayo, Sa.”
“Sentermu mana, Ran ?”
“Loh iya, tadi tak pegang hehe, bentar ya.”, agak sedikit malu wajahku
terhadap Risa yang merespon dengan menggelengkan kepala melihat aku
melupakan senter yang tadi aku pegang di dalam tenda.
Setelah mengambil senter kami kemudian sedikit berjalan menuju tempat yang
ingin ditunjukkan oleh Risa. Tempat itu merupakan tempat terbaik dimana kita
bisa melihat pemandangan yang sangat indah dihiasi dengan matahari yang
terbit dari timur serta lautan awan yang menakjubkan bak di film pendakian
gunung atau di video Youtube Pendaki Gunung. Ditengah perjalanan yang dingin
serta gelap aku sedikit menceritakan kejadian aneh yang aku dengar tadi
malam kepada Risa.
“Sa, tau nggak, tadi malem aku denger suara orang dan suara kodok.”
“Kamu pasti mimpi, Ran, mana mungkin ada suara kodok diatas gunung. Kalau
ada uda mati kedinginan paling itu kodok.”
“Iyaa sih, tapi aku denger selain suara kodok juga suara orang itu tadi,
dan dia bilaang.. Eee..”, aku sembari mengingat-ingat kembali perkataan
orang itu.
“Dia bilang apa ?”, pertanyaan dari Rani sedikit penasaran namun ada
perasaan tidak percaya dari nada bicara dan raut wajah dari Rani.
“Eemm.. Kayak aku bakal jadi pangeranmu, tuan putri. Iya begitu
perkataannya.”,
Mendengar jawabanku, Rani langsung tertawa tidak percaya dengan apa
yang aku ceritakan kepadanya.
“Hahahaha.. mimpimu bagus sekali ya, tuan putri.. Hahaha.”, sembari tertawa
Rani tidak percaya dengan apa yang ku katakan.
“Jangan-jangan kamu kepikiran cerita pangeran kodok sampai kebawa mimpi ya
? haduh Rani, kamu boleh galau, tapi jangan keblabasan galaumu hahaha.”
“Tapi suaranya aku denger pake telinga ku ini Sa, dia bilang gitu.” Aku
sambil sedikit menjewer sedikit kupingku mempertegas kepada Rani aku
mendengarkannya sendiri.
“Udah, Masalah pangeran mimpimu kita bahas nanti aja, bentar lagi kita
sampai dan siapin handphone-mu buat foto-foto.”
Memang sedikit terasa kesal Rani tidak percaya dengan ceritaku ini, tapi
kesal itu teralihkan dengan aku yang tidak sabar untuk mengambil banyak foto
yang ciamik dari pemandangan sunrise kali ini. Harus bisa
ambil foto dengan angel yang bagus supaya punya banyak
stock foto bagus.
Banyak Waktu kita habiskan ketika melihat matahari yang terbit bersamaan
dengan lautan awan yang sangat indah. Pengalaman kali ini memang benar-benar
pengalaman pertama yang tidak akan aku lupakan. Semua suasana yang baru aku
rasakan ini membuatku bersemangat kembali menjalani hari baru yang ingin ku
jalani berikutnya. Entah bagaimana nantinya aku akan jatuh dan terjebak
didalam masa lalu patah hatiku dengan Rio tapi aku ingin selalu berjalan ke
depan, mendaki jalanan terjal dengan banyaknya rintangan yang akan aku temui
lagi dan bayangan menyedihkan yang tertinggal dibelakang untuk tidak aku
ungkit lagi kesedihannya. Apapun yang terjadi, aku akan selalu menanti hari
baru di masa depan nanti yang tidak akan bisa aku ketahui perasaan yang
bagaimana nantinya akan aku rasakan, tapi aku akan tetap memberanikan diri
menghadapinya.
“Yuk turun, Ran.”, ajakan Risa yang sedikit mensesalkanku.
“Halaah Sebentar lagii yaa, Sa. Masih bagus ini pemandangannya, masih sejuk
suasananya dan masih ingin aku nikmati perasaan ini.”, keinginanku kepada
Rani agar tinggal disini sebentar lagi.
“Ayo Ran, ini udah siang, daripada nanti sampai rumah kita kemalaman, kita
juga perlu beres-beres tenda dulu dan membuang sampahnya”, Bujukan Risa
berhasil membuatku untuk menyudahi menikmati suasana ini, karena aku nggak
mau sampai rumah kemalaman, masih ada tugas sekolah yang harus
dikerjakan.
“Oke-Oke, ayo, tapi minta tolong Rekam Video aku dari belakang sini
ya angelnya, hehe, terakhir.”, satu permintaanku kepada Rani sebelum kita
turun ke kaki gunung.
“Iya mana handphone-mu sini.”
Dan setelah Risa memulai merekam aku akan mengatakan ini.
Pagi.
Sekian lama kita berjalan bersamaan.
Akhirnya kita menemukan titik terang.
Dimana terang yang kumaksut adalah jalanku yang tak lagi dirundung
kesedihan dalam kegelapan.
Setiap apa yang ku lakukan.
Aku akan percaya semuanya akan baik-baik saja.
Karena aku percaya setelah ku melewati jalanku bersamamu.
Ada jalan terang lainnya yang menungguku untuk menghampirinya dan
menikmati segala perasaan yang akan menerimaku dengan bagaimanapun aku
nantinya.
Terimakasih.
Rani.
“Nih Ran, udah aku rekam, Hingga sekarang kata-katamu selalu membuatku
terkesan.”
“Hehehe, Makasih ya, Sa. Ayo kita turun.”
Kemudian aku dan Rani turun kembali menuju tenda kami, meninggalkan kehangatan pagi dari mentari yang sangat ku kagumi. Alam mungkin akan selalu sama dimata kita, tapi tanpa disadari Alam juga akan berubah seiring berjalannya waktu. Seperti halnya manusia. Mereka adalah makhluk dinamis. Tidak akan pernah puas dengan satu hal dan tetap akan mencari hal yang dapat memuaskan rasa penasarannya. Mungkin manusia akan selamanya terus mencari hingga mereka tak sadar sebuah kepuasan batin tidak akan pernah berhenti jika tidak diri kita sendiri yang menghentikannya. Bahkan tuhan dapat berkendak menghentikan kita dari rasa haus akan penasaran yang tiada ujung akan berakhir. Semoga perasaanku dapat berhenti seiring berjalannya waktu dan aku menyadari kata cukup adalah kata yang sangat tepat untuk menghentinkanku.
TAGS: Lainnya
0 Response to "Cerpen "Pangeran Kodok""
Posting Komentar
*Berkomentarlah sesuai dengan isi postingan